Iqra’ dan Mohammad Hatta terhadap Buku – Fadila Khusnun

Suatu hari pada 17 Ramadhan berabad-abad lalu, manusia yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai suri tauladan: Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam—berkontemplasi di Gua Hira. Secara historis tercatat di sana pula Nabi menerima wahyu pertama.

“Iqra’ (Bacalah)” Kata Malaikat Jibril kepada Nabi. “Aku tidak bisa membaca.” Kata Nabi kepada Malaikat Jibril. Kejadian itu berulang hingga tiga kali diselingi dengan kejadian Malaikat Jibril mendekap Nabi erat hingga Nabi kesusahan, lalu melepaskan Nabi. Di akhir, Malaikat Jibril berkata:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dan lima ayat tersebut tercatat dalam Kitab Suci al Qur’an pada surat al Alaq ayat 1 sampai 5.

Iya, sebegitu pentinglah membaca hingga Tuhan pun menjadikan membaca sebagai redaksi pertama yang dikeluarkan. Sebagaimana buku adalah jendela dunia, maka membaca adalah kunci untuk membuka jendela itu.

Di kampus tempat saya belajar, saat memasuki gerbang utama kampus, pertama mata akan disuguhi pemandangan sungai buatan yang cukup panjang. Setelah tiba dihilir sungai, mata akan disuguhi sebuah tugu berbentuk kapal. Jika diamati dengan lebih teliti, tugu tersebut tersusun dari huruf Alif, Qaf, Ra dan Alif. Iya, dibaca Iqra’. Saat sore hari selepas Ashar, saya sering duduk di area tugu itu, sambil menerka-nerka maknanya. Mungkin secara implisit bermakna, saat ingin mengarungi luasnya dunia—termasuk di dalamnya dunia kampus yang diisi dengan segala lini keilmuan—maka kuncinya ialah menaiki kapal. Dan kapal itu ialah membaca.

Saya sering tiba tiba merinding saat mendengar kisah-kisah tentang seorang pembaca ulung. Salah satunya ialah Mohammad Hatta. Benar, Bapak Proklamator ini merupakan pembaca ulung. Hari-harinya tidak lepas dari buku. Saat ia diasingkan ke Digul yang mengerikan itu hingga ke Banda Neira, ia membawa 16 koper buku bersama Sutan Syahrir temannya. “Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bisa bebas.” Begitulah kredo yang lahir dari seorang Hatta.

Suatu hari, saat tengah menggulir media sosial, saya merekam di memori pikiran saya, tentang seseorang yang bercerita mengenai akhlak Hatta terhadap buku. Seseorang tersebut berkata, “Hatta tidak pernah meletakkan buku-buku secara sembarangan. Ia selalu memposisikan buku tersebut layaknya ia memposisikan penulisnya yang mesti dihormati. Saat akan membaca buku, Hatta mandi dan bersuci, sebab ia menyadari hakikat ilmu itu suci. Bahkan, Hatta juga mengirimkan al Fatihah untuk penulis buku yang akan ia baca.” Sayang, saya sama sekali tidak mengingat siapa yang bercerita hal itu dan media sosial apa yang saya lihat.

Setelah merekam kalimat itu, saat ini saya tengah berusaha mempelajari akhlak Hatta terhadap buku. Dulu, saat akan membaca buku, saya tidak pernah berpikiran untuk bersuci. Jangankan bersuci, menyebut nama Tuhan yang menciptakan saja kadang lupa. Lebih-lebih, setahun lalu saya diberi buku oleh teman saya Fikriyyah Azzahra, mahasiswi Tafsir Hadits Internasional. Dan di lembar pertama buku tersebut, teman saya itu menulis, “Iqra’ bismi rabbikalladzi kholaq.”

by : Fadila Khusnun

About Shinta

Check Also

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI UIN SUSKA RIAU GELAR COLLUCUIUM INTERNASIONAL

Dalam upaya meningkatkan kualitas akademik dosen dan mahasiswa maka diperlukan kegiatan-kegiatan penunjang. Salah satu kegiatan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *